Fase pengingkaran (denial)
1. Reaksi pertama individu yang mengalami kehilanga adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan yang terjadi, dengan mengatakan ‘Tidak,saya tidak percaya bahwa itu terjadi’. “tu tidak mungkin’. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus-menerus mencari informasi tambahan.
2. Fase marah ( anger )
Fase ini di mulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyatan terjadinya kehilangan, individu menunjukan perasaan yang meningkat yang sering di proyeksikan kapada orang yang ada dilingkungannya, orang-orang tertentu atau ditunjukan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia menunjukan prilaku agresif , bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh Dokter dengan yang tidak becus. Respon fisik yang terjadi pada pase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Fase tawar menawar (bargaining)
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tukar menukar dengan memohon kemurahan dari Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini biasa ditunda maka saya akan sering berdoa’. Apabila proses berduka cita ini dialami oleh keluarga maka pernyataan sebagai berikut sering di jumpai. “ kalau saja yang sakit bukan anak saya”.
4. Fase depresi (depression)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau berbicara kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur letih, dorongan libido menurun.
5. Fase penerimaan (acceptance)
Fase ini berkaitan dengan teorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada atau objek atau orang hilang akan mulai berkurang atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran tentang objek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. (Yosep, 2006, hal 176)