Perencanaan aggregat adalah perencanaan yang dibuat untuk menentukan total permintaan dari seluruh elemen produksi dan jumlah tenaga kerja yang diperlukan.
Perencanaan aggregat merupakan perencanaan produksi jangka menengah. Horizon perencanaannya biasanya berkisar antara 1 sampai 24 bulan atau bias bervariasi dari 1 sampai 3 tahun. Horizon tersebut tergantung pada karakteristik produk dan jangka waktu produksi. Periode perencanaan disesuaikan dengan periode peramalan, biasanya 1 bulan.
Tujuan perencanaan aggregate adalah menyusun suatu rencana produksi untuk memenuhi permintaan pada waktu yang tepat dengan menggunakan sumber-sumber atau alternative-alternatif yang tersedia dengan biaya yang paling minimum. Perencanaan aggregate ini merupakan langkah awal aktivitas perencanaan produksi yang dipakai sebagai pedoman untuk langkah selanjutnya, yaitu penyusunan Jadwal Induk Produksi (JIP).
Jika kapasitas produksi tetap berdasarkan perencanaan jangka panjang yang telah dipasang, adalah menjadi kewajiban perencanaan produksi aggregate untuk menetapkan kebijaksanaan yang dapat digunakan untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan dengan biaya yang minimum. Dengan kata lain perencanaan aggregate dibuat untuk menyesuaikan kemampuan produksi dalam menghadapi permintaan pasar yang tidak pasti denga mengoptimumkan penggunanann tenaga kerja dan peralatan produksi yang tersedia ongkos total produksi dapat ditekan seminimum mungkin. Jika pesanan yang diterima bersifat tetap dalam waktu yang relative panjang, maka perencana produksi tidak akan mengalamai kesulitan dalam menetapkan rencana produksi bulanan. Akan tetapi pada kenyataannya, pola permintaan seringkali menunjukkan pola statis, sehingga menyulitkan dalam menetapkan rencana produksi bulanan. Disinilah peranan metode perencanaan aggregate dalam mengatasi kesulitan tersebut.
Kata aggregate tersebut menyatakan bahwa perencanaan dibuat pada tingkat kasar untuk memenuhi total kebutuhan semua produk yang akan dihasillan (bukan per-individu produk) dengan menggunakan sumber daya yang ada. Dalam sistem manufaktur, faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam membuat perencanaan aggregat adalah semua sumber daya yang berupa kapasitas mesin yang tersedia, jumlah tenaga kerja yang ada, tingkat persediaan yang ditentukan dan penjadwalannya.
Langkah berikutnya adalah menterjemahkan permalan kedalam tingkat produksi bulanan. Proyeksi permintaan yang tidak konstan (sering terjadi dalam prakteknya) meningkatkan kesulitan dalam pembuatan perencanaan produksi. Pengaruh pola permintaan khususnya factor musiman dan siklus bisnis selama periode perencanaan membutuhkan kehati-hatian dalam perencanaannya sehinnga dapat meminimalisasi kemungkinan kerugian.
Secara umum, pola permintaan dapat dipengaruhi oleh 4 komponen, yaitu kecenderungan (trend), siklus bisnis, musiman dan random. Komponen kecenderungan (trend) menyatakan kenaikan dan penurunan rata-rata permintaan untuk jangka waktu yang sangat panjang. Komponen siklus bisnis mengindikasikan penyimpangan yang cukup besar dari permintaan terhadap kecenderungan yang disebabkan aktivitas bisnis yang bervariasi. Pengaruh musiman juga dapat menaikkan atau menurunkan tingkat permintaan. Dibandingkan siklus bisnis yang sulit diprediksi kapan mulai dan berakhirnya, maka komponen musiman selalu mengikuti pola yang tetap setiap tahunnya. Komponen terakhir adalah factor random yang bias dianggap sebagai noise pada pola permintaan.
Penyesuaian dari kapasitas produksi untuk mengantisipasi komponen kecenderungan adalah merupakan tanggung jawab dari perencanaan produksi strategis, sedangkan komponen random akan diantisipasi pada perencanaan produksi harian (penjadwalan). Komponen musiman dan siklus bisnis merupakan perhatian utama dari perencanaan produksi aggregate. (Arman Hakim Nasution, Hal : 59).
Pada umumnya, ada 4 jenis strategi yang dapat dipilih dalam membuat perencanaan aggregate. Pemilihan strategi tersebut tergantung dari kebijaksanaan perusahaan, keterbatasan perusahaan dalam prakteknya dan pertimbangan biaya. Keempat jenis strategi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Memproduksi banyak barang pada saat permintaan rendah, dan menyimpan kelebihannya sampai saat yang dibutuhkan. Alternatif ini akan menghasilkan tingkat produksi relative konstan, tetapi akan mengakibatkan ongkos persediaan yang tinggi.
2. Menambah tenaga kerja pada saat permintaan tinggi dan menguranginya jika permintaan rendah. Tetapi pada saat penambahan tenaga kerja akan memerlukan biaya rekruitmen dan pelatihan. Biaya kompensasi dan reorganisasi sering kali harus dikeluarkan jika dilakukan pengurangan tenaga kerja. Karena kapasitas fasilitas produksi tetap, maka penurunan produkstivitas mungkin akan terjadi jika penambahan tenaga kerja tanpa disertai dengan penambahan peralatan produksi (mesin-mesin).
3. Menerapkan sistem over time terhadap para pekerja. Alternatif ini sering dipakai dalam perencanaan aggregate, tetapi memiliki keterbatasan dalam menjadwalkan kapasitas mesin dan tenaga kerja yang ada. Jika permintaan naik, maka kapasitas produksi dapat dinaikkan dengan melemburkan pekerjanya. Tetapi penggunaan lembur hanya dapat dilakukan dalam batas maksimum kerja lembur yang diizinkan. Biasanya pemerintah mengatur pembatasan kerja lembur yang bias dilakukan oleh perusahaan, misalnya waktu total kerja lembur tidak boleh melebihi 25% dari total waktu kerja regular. Kenaikan kapasitas produksi melebihi aturan tersebut hanya dapat dilakukan melalui penambahan tenaga kerja. Alternatif kerja lembur akan menyebabkan biaya tambahan karena biasanya rarif upah lembur adalah 150% dari tariff upah kerja regular. Jika permintaan turun, maka kapasitas produksi dapat disesuaikan dengan menganggurkan pekerja (under time). Under time akan mengakibatkan biaya tetap yang harus dibayar meskipun tenaga kerja menganggur, kecuali manajemen dapat memberikan kerja tambahan selama menganggur, seperti mengadakan pemeliharaan mesin dan lain-lain.
4. Mensubkontrakkan sebagian pekerjaan pada saat sibuk. Alternatif ini akan mengakibatkan tambahan ongkos, karena sub kontrak dan ongkos kekecewaan konsumen bila terjadi keterlambatan penyererahan dari barang yang disubkontrakkan.