Salah satu tantangan utama saya dalam menjalankan organisasi skala perusahaan keluarga yang saya pimpin saat ini adalah ketika harus memutuskan kenaikan gaji karyawan di awal tahun. Kebetulan jumlah karyawan bukan hanya 2-3 orang, tapi mencapai 15 orang yang tetap dan 60an orang yang freelance. Sebagian bahkan jarang bertemu dengan saya karena jam kerjanya berbeda.
Seperti kita ketahui bersama, tantangannya banyak. Menaikkan gaji belum secara besar-besaran tentu akan bisa menaikkan kinerja secara signifikan. Kenaikan harus sesuai dengan kinerja karyawan, tapi bagaimana caranya? Belum lagi ketika kita harus menyesuaikan dengan keadaan keuangan perusahaan. Kenaikan harus betul-betul dirancang sedemikian rupa agar tepat sasaran dan bisa menaikkan produktivitas.
Apa yang harus saya pakai sebagai dasar? Saat ini, yang paling utama saya jadikan pertimbangan adalah masukan dari para manajer lapangan yang langsung berhubungan langsung dengan para karyawan. Masukan ini saya kumpulkan secara sporadis tanpa ada sistem baku. Saya juga cukup rajin bertemu dengan para karyawan dan berbicara dari hati ke hati walaupun disini ada kecenderungan manusiawi bahwa saya lebih banyak berinteraksi dengan karyawan yang saya “sukai” atau “enak” diajak ngobrol. Hasil pembicaraan biasanya saya jadikan dasar untuk “menilai” seberapa jauh karyawan telah “berbuat” dan “akan berbuat” di masa datang. Dan acuan saya terakhir adalah performance dari tiap unit kerja walau beberapa unit performance nya sangat abstrak yaitu “kepuasan pelanggan”.
Selama ini tidak terlalu banyak komplain atas segala keputusan mengenai kenaikan gaji tahunan, tapi tetap ada saja beberapa orang yang kritis akan datang bertanya. Tapi secara umum saya merasa bahwa sistem sederhana yang saya jalankan cukup berhasil, artinya metode ini cocok dengan keadaan di perusahaan yang saya pimpin.
Dan yang terpenting dari pola yang saya jalankan, semua keputusan kenaikan gaji selalu saya komunikasikan secara serius dengan karyawan di awal tahun. Saya buat sesi khusus untuk memanggil mereka satu per satu dan berdiskusi tentang pekerjaan yang sudah mereka lakukan di tahun sebelumnya serta tantangan-tantangan di masa depan, tidak lupa saya menyelipkan info tentang keadaan riil perusahaan serta suntikan motivasi.
Yang jadi masalah adalah ketika saya harus menyerahkan kepemimpinan organisasi ini ke orang lain yang ditunjuk oleh pemilik perusahaan. Sulit sekali untuk menyerahterimakan “konsep sistem” penilaian kerja dan kenaikan gaji tadi ke orang baru ini. Saya baru sadar bahwa sistem yang saya laksanakan selama ini sangat erat dengan “nilai/values” yang saya anut selama memimpin, yang secara sengaja atau tidak, terbentuk selama saya menjalankan tugas-tugas saya. Akhirnya, pemimpin baru harus meraba-raba untuk melaksanakan pola ini. Karena perbedaan values serta cara pandang pemimpin baru, tidak mengherankan apabila kemudian karyawan merasa dirugikan karena mereka melihat bahwa “sistem lama” ditinggalkan dan pemimpinan baru menerapkan “sistem baru”. Padahal awalnya, kami berdua sepakat bahwa pola yang saya jalankan akan diteruskan olehnya.
Kenapa bisa terjadi? Ya sederhana jawabannya. Satu, tidak ada petunjuk atau dasar tertulis sama sekali mengenai pola ini. Dua, pola yang telah saya jalankan sekian lama dengan berhasil sesuai dengan “jalan hati” saya yang sudah menyatu dengan perusahaan dan karyawan. Tiga, pola begini memang sangat rentan terhadap subyektivitas dan leadership style pimpinan.
Apakah kemudian segala sesuatunya perlu di standarisasi ala ISO? Saya pikir tetap perlu agar ada pijakan yang jelas dan membantu pimpinan untuk konsisten. Tapi yang tetap harus diperlukan adalah “skills’ pemimpin dalam melakukan implementasinya di lapangan. Ini semua adalah “people skills”, tidak hanya sekedar kemampuan komunikasi, tetapi juga ketulusan dan kesungguhan kita dalam menjalankan tugas. Karyawan tidak akan punya rasa hormat dan menghargai segala keputusan kita apabila mereka tidak melihat ketulusan dan kesungguhan kita.