Prinsip pengomposan

Christopher J. Starbuck, seorang ahli holtikultura dari University of Missouri menjelaskan, kompos merupakan bahan organik yang telah membusuk beberapa bagian (partially decomposed) sehingga berwarna gelap, mudah hancur (crumbled), dan memiliki aroma seperti tanah (earthy). Kompos dibuat melalui proses biologi, yaitu seperti penguraian pada jaringan tumbuhan oleh organisme yang ada dalam tanah (soil). Ketika proses pembusukan selesai, kompos akan berwarna coklat kehitaman dan menjadi material bubuk bernama humus.

Dalam kondisi alami, hewan dan tumbuhan akan mati di atas tanah. Makhluk hidup yang telah mati tersebut akan diuraikan bakteri pembusuk, kemudian membentuk suatu material yang dapat menghidupkan dan menyuburkan tanaman. Proses yang terjadi dalam pembuatan kompos ini tidak jauh berbeda dengan proses pada penguraian tersebut. Oleh karena itu, pembuatan kompos sering dianggap sebagai seni dalam merubah kematian menjadi kehidupan (the art of turning death into life).
National Organic Gardening Centre yang berada di Kota Coventry, Inggris dalam publikasinya menjelaskan, pembuatan kompos pada dasarnya adalah membuat suatu kondisi yang mendukung (favourable condition) bagi pertumbuhan populasi mikroorganisme dalam proses pembusukan untuk membuat material humus yang sangat penting bagi tanah. Pembusukan dalam pembuatan kompos akan lebih cepat (speeded up) dibandingkan dengan pembusukan yang terjadi pada proses alami.
Prinsip pembuatan kompos merupakan pencampuran bahan organik dengan mikroorganisme sebagai aktivator. Mikroorganisme tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti kotoran ternak (manure) atau bakteri inokulan (bakterial inoculant) berupa Effective Microorganisms (EM4), orgadec, dan stardec. Mikroorganisme tersebut berfungsi dalam menjaga keseimbangan karbon (C) dan nitrogen (N) yang merupakan faktor penentu keberhasilan pembuatan kompos.
Bahan yang diperlukan dalam pembuatan kompos adalah substansi organik. Bahan tersebut dapat berupa dedaunan, potongan-potongan rumput, sampah sisa sayuran, dan bahan lain yang berasal dari makhluk hidup. Kemudian, bahan-bahan tersebut harus memiliki rasio karbon dan nitrogen yang memenuhi syarat agar berlangsung pengomposan secara sempurna. Sampah organik dapat diubah menjadi kompos dengan suksesi berbagai macam organisme. Selama fase awal pengomposan, bakteri meningkat dengan cepat. Berikutnya, bakteri berfilamen (actinomycetes), jamur, dan protozoa mulai bekerja. Setelah sejumlah besar karbon (C) dalam kompos dimanfaatkan (utilized) dan temperatur mulai turun, centipedes, milipedes, kutu, cacing tanah, dan organisme lainnya melanjutkan proses pengomposan (Starbuck, 2004).
Organisme yang bertugas dalam menghancurkan material organik membutuhkan nitrogen (N) dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, dalam proses pengomposan perlu ditambahkan material yang mengandung nitrogen agar berlangsung proses pengomposan secara sempurna. Material tersebut salah satunya dapat diperoleh dari kotoran ternak (manure). Nitrogen akan bersatu dengan mikroba selama proses penghancuran material organik.
Setelah proses pembusukan selesai, nitrogen akan dilepaskan kembali sebagai salah satu komponen yang terkandung dalam kompos. Pada fase berikutnya, jamur (fungi) akan mencerna kembali substansi organik untuk cacing tanah dan actinomycetes agar mulai bekerja. Cacing tanah akan bertugas dalam mencampurkan substansi organik yang telah dicerna kembali oleh jamur dengan sejumlah kecil tanah lempung (clay) dan kalsium yang terkandung dalam tubuh cacing tanah. Selama proses tersebut, rantai karbon yang telah terpolimerisasi (polymerized) akan tersusun kembali pada pembentukan humus dengan menyerap berbagai kation seperti sodium, amonium, kalsium, dan magnesium. Dalam tahap ini, kompos sudah bisa digunakan sebagai pupuk pada tumbuhan penghasil jagung, labu, ketela, melon, dan kubis.
Pada fase terakhir, organisme mengoksidasi substansi nitrogen menjadi nitrat (nitrates) yang dibutuhkan akar tanaman dan tumbuhan bertunas (sprouting plants) seperti rebung dan tauge. Kompos akan berubah menjadi gelap, wangi, remah, dan mudah hancur. Fase ini disebut juga sebagai fase kematangan (ripeness) karena kompos sudah dapat digunakan.
Keberhasilan dalam pembuatan kompos sangat dipengaruhi beberapa faktor. Dalam proses pengomposan, harus dilakukan pengontrolan terhadap kelembaban, aerasi (tata udara), temperatur, dan derajat keasaman (pH). Kelembaban antara 50-60% merupakan angka yang cukup optimal pada pembuatan kompos. Pengomposan secara aerob membutuhkan udara, sehingga perlu dilakukan pembalikan (turning) pada kompos agar tercipta pergerakan udara. Temperatur akan naik pada tahap awal pengomposan, namun temperatur tersebut akan berangsur-angsur turun mencapai suhu kamar pada tahap akhir. Keasaman kompos akan meningkat, karena bahan yang dirombak menghasilkan asam-asam organik yang sederhana dan keasaman ini akan kembali normal ketika kompos telah matang.
Aplikasi
Pembuatan kompos di tingkat masyarakat dapat dibuat dengan lebih praktis, lebih sederhana, dan dalam waktu yang sangat singkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan Bio Reaktor Mini (BRM) dalam proses pengomposan. Bio Reaktor Mini (BRM) ini dapat membuat kompos dengan kapasitas sekira 200 liter. Penggunaan BRM sangat cocok diterapkan masyarakat di tingkat RT/RW dalam mengelola sampah. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan mengumpulkan sampah rumah tangga yang jumlahnya sangat banyak. Setelah itu, kompos yang dihasilkan masyarakat tersebut bisa digunakan kembali untuk kepentingan masyarakat atau dijual untuk memperoleh keuntungan ekonomis.Kompos yang dicampurkan ke dalam tanah dapat meningkatkan kesuburan (fertility) tanah, menambah bahan organik dalam tanah, dan memperbaiki kondisi fisik tanah tersebut. Kompos dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang terdapat dalam tanah. Mikroorganisme tersebut berfungsi dalam mengeluarkan zat gizi dan material lainnya ke dalam tanah.
Pengerasan (crusting) tanah di permukaan dapat dicegah dengan pemberian kompos. Jika kompos mengandung sejumlah kecil tanah, maka kompos tersebut akan bermanfaat sebagai bagian dari media pertumbuhan untuk tanaman dan akan mengawali tumbuhnya buah dari tanaman tersebut (Starbuck, 2004).Kompos dapat menambah kandungan bahan organik dalam tanah yang dibutuhkan tanaman. Bahan organik yang terkandung dalam kompos dapat mengikat partikel tanah. Ikatan partikel tanah ini dapat meningkatkan penyerapan akar tanaman terhadap air, mempermudah penetrasi akar (root penetration) pada tanah, dan memperbaiki pertukaran udara (aeration) dalam tanah, sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Kompos dapat mendukung berjalannya gerakan pertanian organik (organic farming) yang tidak menggunakan bahan kimia dan pestisida dalam pertanian.
Pengelolaan sampah (waste management) dengan pembuatan kompos secara nyata telah menjadikan sampah sebagai sebuah aset yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Banjir yang terjadi akibat tumpukan sampah di sungai harus dijadikan dasar pertimbangan untuk melakukan pengomposan sampah secara profesional. Peluang ekonomis sampah ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik, tentunya dengan dukungan para penentu kebijakan, para ahli lingkungan, dan masyarakat secara umum.

Selamat Datang Di ZONA TEKNIK.. ! Semoga Web ini Dapat Bermanfaat.. ZONA TEKNIK ..Bersama Memberikan Kemudahan.. Terima Kasih Atas Kunjungannya... Salam Sukses...