1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun Ka 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Meskipun undang-undang ini disebut sebagai UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.
Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang Hukum Privat (Perdata) maupun bidang Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, memperjelas kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi.
Hukum Ekonomi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keseluruhan kaidah hukum administrasi yang membatasi hak-hak yang dilindungi atau dikembangkan oleh hukum perdata. Peraturan-peraturan seperti ini merupakan peraturan Hukum Administrasi di bidang Ekonomi yang akhirnya dicakup dalam satu kategori sebagai Droit Economique.
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah “seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi dan cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia”.
Pengertian ini tidak terbatas hanya pada persoalan yang menyangkut hubungan antara hukum dan kegiatan ekonomi, tetapi di dalamnya mencakup substansi tentang pembagian hasil pembangunan ekonomi yang merupakan hak asasi manusia. Demikian pula, tidak terbatas hanya dalam bentuk peraturan tertulis, tetapi termasuk di dalamnya doktrin tentang cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi. Dapat dikatakan bahwa ruang lingkup hukurn ekonomi tidak membedakan bidang hukum privat dan hukum publik, bahwa yang terpenting di dalamnya menyangkut aspek kehidupan ekonomi. Kesimpulan dan pendapat tersebut terbukti dalam tulisan Sunaryati Hartono pada bagian lain yang mengatakan bahwa “hukum ekonomi yang merupakan keseluruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi. Oleh karena sudah merupakan suatu verwaltungswirtschaft, maka tidak dapat dan tidak perlu ada perbedaan, sebagai kaidah hukum perdata atau kaidah hukum publik”.
Hukum ekonomi bersifat lintas sektoral dan nasional, maka pendekatan hukum ekonomi bersifat interdisi liner dan transnasional. Interdisipliner karena hukum ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat hukum perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum administrasi negara, hukum antar wewenang, hukum pidana dan bahkan juga tidak dapat mengabaikan hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum ekonomi Indonesia memerlukan landasan pemikiran dan bidang-bidang non hukum, seperti bidang ekonomi, bidang sosiologi, bidang administrasi pembangunan, dan sebagainya. Sedangkan sifat transnasional, karena hukum ekonomi tidak lagi dapat ditinjau dan dibentuk secara intern nasional seperti hukum dagang, akan tetapi memerlukan pendekatan transnasional, yang memandang kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam negeri dalam kaitannya dengan peristiwa dan perkembangan yang terjadi di luar negeri dan di dunia internasional. Demikian pula hukum ekonomi Indonesia tidak dapat menyelesaikan penistiwa-penistiwa ekonomi Indonesia dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum intern nasional saja, melainkan selalu memperhatikan dan mempertimbangkan pengaruh-pengaruh dan penistiwa ekonomi internasional di satu pihak dan hukum ekonomi internasional khususnya yang berkaitan dengan perjanjian-perjanjian ekonomi dengan luar negeri, di lain pihak. Penggunaan kaidah-kaidah hukum publik internasional, hukum perdata interhasional dan kaidah-kaidah perdata maupun publik internasional itu secara integral, menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan nama pendekatan transnasional.
2. Pengertian Konsumen
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dan suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dan proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Penggunaan istilah “pemakai” dalam rumusan Pasal 1 angka UUPK tersebut sesungguhnya kurang tepat. Ketentuan yang menyatakan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat”, apabila dihubungkan dengan anak kalimat yang menyatakan “bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya. Sebagai pemakai dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri, dan bukan untuk keluarga, bijstander, atau makhluk hidup lainnya. Demikian pula penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual beli. Jika seandainya istilah yang digunakan “setiap orang yang memperoleh” maka secara hukum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena apa yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk orang lain.
Hal lain yang juga perlu dikritisi bahwa cakupan konsumen dalam UUPK adalah sempit. Bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan! atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan/atau jasa” yang dengan senthrinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut.
Pengertian konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan dengan 2 (dua) rancangan undang-undang perlindungan konsumen lainnya, yaitu pertama dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa:
“Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan din sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.”4
Sedangkan yang kedua dalam naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Rancangan Akademik) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen.Perdagangan RI menentukan bahwa “kosumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.5
Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen pada kedua rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan terakhir ini, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuhtumbuhan). Pengertian konsumen yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen. Walaupun begitu masih perlu disempurnakan sehubungan dengan penggunaan istilah “pemakai”, demikian pula dengan eksistensi “badan hukum” yang tampaknya belum masuk dalam pengertian tersebut.
Dari sudut pandang yang lain, jika kita hanya berpegang pada rumusan pengertian konsumen dalam UUPK, kemudian dikaitkan dengan Pasal 45 yang mengatur tentang gugatan ganti kerugian dan konsumen kepada pelaku usaha, maka keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain, tidak dapat menuntut ganti kerugian karena mereka tidak termasuk konsumen, tetapi kerugian yang dialaminya dapat menjadi alasan untuk mengadakan tuntutan ganti kerugian.
Berdasarkan hal itu, apabila badan hukum, keluarga, dan orang lain diberi hak untuk menuntut ganti kerugian maka rumusan pengertian konsumen sebaiknya menentukan bahwa : “Konsumen adalah setiap orang/badan hukum yang memperoleh dan/atau memakai barang/jasa yang berasal dan pelaku usaha dan tidak untuk diperdagangkan”.
Disebutkannya kata “berasal dan pelaku usaha” dalam rumusan di atas, karena pengertian konsumen dalam UUPK sangat terkait dengan masalah tuntutan ganti kerugian dan konsumen kepada pelaku usaha, sedangkan konsumen (dalam pengertian sehari-hari) yang tidak memperoleh barang/jasa dan pelaku usaha tidak tercakup dalam undang-undang ini.
Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.
Sedangkan di Eropa, pengrtian konsumen bersumber dan Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.6
Hal lain yang juga perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini adalah syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai “konsumen akhir” (end consumer) dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (derived/infrrmediate consumer). Dalam kedudukan sebagai derived/intermediate consumer, yang bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan undang-undang ini, lain halnya pabila seorang pemenang undian atau hadiah seperti nasabah Bank, walaupun setelah menerima hadiah undian (hadiah) kemudian yang bersangkutan menjual kembali hadiah tersebut, kedudukannya tetap sebagai konsumen akhir (end consumer), karena perbuatan menjual yang dilakukannya bukanlah dalam kedudukan sebagai profesional seller. Ia tidak dapat dituntut sebagai pelaku usaha menurut undang-undang mi, sebaliknya ia dapat menuntut pelaku usaha bila hadiah yang dipero1eh ternyata mengandung suatu cacat yang merugikan baginya.
3. Asas dan Tujuan Konsumen
Pasal 2 UUPK menjelaskan “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.” Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jarninan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen melalui penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan inemperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlinduingan konsumen, serta negara men Jamin kepastian hukum
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undnng Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tarn pak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum.
Achmad Ali menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,’ yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum”, di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, di mana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its lenefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, “dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikjan pula sebaliknya”. Dalam hubungan ini, Ali juga mengajarkan: “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.”
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Ali, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terakhir kepastian hukum. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menganggap “hal yang lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Maksudnya adalah, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung dan kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.
Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan mi tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.
Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dan adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dan asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan di atas, yang sekaligus sebagai karakteristik dan apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi.
Memperhatikan uraian tentang asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen tersebut, demikian pula hubungannya deengan komentar para ahli tentang subtansi Pasal 1 anga 1 dalam bab sebelumnya, maka tidak dapat diragukan bidang hukum ini berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi.
Hukum ekonomi dimaksud, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus yaitu aspek hukum publik dam aspek hukum privat (perdata), dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud. Didalamnya mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas utama dan hukum ekonomi yang bersumber dan asas-asas hukum publik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. “Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dan hukum perdata dan/atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu di mana harus menghormati “hak dan kepentingan pihak lain”.
Oleh karena hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan kegiatan-kegiatan ekonomi, maka asas lain yang juga patut mendapat perhatian adalah asas-asas yang berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan ekonomi yang sangat terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecilkecilnya. Berangkat dan hal mi, maka dalam hukum ekonomi juga berlaku asas “maksimalisasi” dan asas “efisiensi”. Melalui asas ini suatu aturan yang hendak diambil/diterapkan harus mempertimbangkan sesuatu yang lebih menguntungkan secara maksimal bagi semua pihak, demikian pula harus merighindari suatu prosedur yang panjang dalam rangka efisiensi waktu, biaya, dan tenaga.
Himawan mengatakan, “dua konsep ekonomi yang menjadi dasar yaitu; konsep maximization (maksimalisasi) dan konsep equilibrium (keseimbangan). Disamping kedua konsep ini, konsep efisiensi juga merupakan dasar pemikiran”. Sebagai contoh, dampak negatif tidak digunakannya konsep maksimalisasi tampak pada dampak tindakan moneter pemerintah Indonesia pada bulan Pebruari 1991 yang telah meningkatkan bunga kredit sekitar 30 % pada taraf permulaan, hingga menyukarkan dilakukannya investasi. Alternatif lain, mencari dana dan luar negeni dengan suku bunga yang relatif rendah yang banyak beredar di pasar dunia, tetapi Indonesia gagal memanfaatkannya karena pranata hukum tentang pinjam meminjam tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh badan peradilan Indonesia. Sebaliknya, apabila konsep maksimalisasi tidak dikendalikan dengan baik, maka akan membawa ekses-ekses yang membahayakan tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, konsep maksimalisasi yang dibutuhkan agar pranata hukum dapat berperan dalam proses pembangunan, memerlukan mekanisme pengendalian yang berupa konsep keseimbangan. ”Konsep keseimbangan dalam hal ini tidak berusaha menghilangkan sama sekali benturan (gangguan), tetapi berusaha menekan serendah mungkin benturan tersebut. Secara relatif keseimbangan sudah tercapai apabila gangguan (disequilibrium) berada pada tingkat minimum.”
Menyangkut konsep efisiensi, suatu proses dikatakan telah mencapai efisiensi apabila proses yang bersangkutan menghasilkan output maksimal dengan input minimum. Di bidang ekonomi konsep tersebut menjelma dalam bentuk; efficient production, efficient exchange, dan utilitarian efficiency. Dalam hubungan ini, maka pranata hukum juga perlu dilihat sebagai “faktor produksi”, yang baru menjadi efisien apabila nilai ekonomi barang dan jasa telah dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pranata hukum bersangkutan.
Lebih dari itu, ahli hukum yang dapat menerapkan konsep-konsep maximization, equilibrium, dan efficiency akan lebih mudah melihat pranata hukum sebagai suatu “komoditi”. Namun bukan berarti hukum dapat diperdagangkan, tetapi terus dthina dan dijaga kualitasnya, sehingga selalu dapat bersaing di “pasar pranata hukum” dalam dan luar negeri. Dalam negeri pranata hukum bersaing dengan pranata non-hukum, seperti pranata ekonomi. “Di luar negeni pranata hukum Indonesia bersaing dengan pranata hukum asing”.
Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa: “Hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan.”
Sedangkan Pasal 3 “Perlindungan konsumen bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi din;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dan ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usalia nengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/a tan jasa, kesehatan, ken yamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.”
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Achmad Ali mengatakan “masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus”.18 Hal itu juga tampak dan pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan jada huruf a sampal dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dan Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang in tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad All bahwa kesadanan hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling benhubungan.