Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha
Pengetian pelaku usaha menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang terdapat dalam pasal 1 angka 3 yaitu : “Setiap orang perseorang atau badan usaha, baik maupun berbadan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negra Republik Indonesia, sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelengarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Namun dalam hal tersebut sangatlah cukuplah luas sebab hal tersebut meliputi grosir, leveransir, pengecer dan lain sebagainya. Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang di maksudkan dalam Undang-Undang Perlindunga Konsumen sama dengan cakupan sebagai “produsen yang di kenal di belanda,karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar Negri,”20 karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha,baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan berbadan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonsia.
Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. konsumen yang di rugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan di ajukan, karena banyak pihak yang di gugat, namun akan lebih baik lagi “seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagai mana dalam irective, sehingga konsumen dapat lebih muda lagi untuk menentukan kepada siapa yang akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk”21 dalam pasal 3 irective di tentukan yasitu :
1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen setiap dari bahan mentah, atau pembuatan dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama,mereknya atau suatu tanda pembedaan jika di rugikan akibat prodak lain, menjadikan dirinya dirinya sebagai produsen.
2. Tanpa mengurangi gugat produsen, maka setiap oarang yang mengimpor suatu produk untuk di jual, di persewakan, atau ujntuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat Eropa akan di pandang sebagai produsen dalam arti Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen.
3. Dalam hal produsen suatu produk tidak di kenal identitasnya, maka setiap Leveransi / Supplierakan bertanggut gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dengan waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya.hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yanh di impotir, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukan identitas importir sebagai mana yang di maksud dalam ayat (2 ), sekalipun nama produsen di cantumkan.
Namun dalam hal ini urutan-urutan yang seharusnya di gugat oleh konsumen manakal di rugikan oleh para pelaku usah adalah
1. Yang pertama di gugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam Negri dan domisilinya di ketahui oleh konsumen yang di rugikan.
2. Apabila produk yang di rugikan konsumen tersebut di produksi di luar negri, maka yang di gugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencangkup pelaku usah di luarNegri.
3. Apabila produsen mapun importir dari suatu produk tidak di ketahui, maka yang di gugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.
Urutan-urutan di atatas tentu saja hanya di berlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat di produksi, karena barang-barang mengalami kecacatan pada saat sudah di dalam luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.
Sedangkan dalam penjelasan UUPK yang termasuk pelaku usaha yaitu perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut luas sekali, karena pengertiannya tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir.
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 Nomor 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa batasan konsumen yaitu:
“Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa pengertian konsumen adalah konsumen akhir. Jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, distributor maupun retailer mempunyai kedudukan yang sama. Hak dan kewajiban mereka seperti yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen.
Sedangkan bila dihubungkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, maka distributor maupun trailer tidak termasuk dalam pengertian konsumen. karena tujuan mereka memperoleh barang tidak bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan bermaksud untuk diperdagangkan. Hak dan kewajiban mereka tidak sama seperti yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, kedua Pasal tersebut hanya berlaku bagi konsumen akhir. Pada prinsipnya kewajiban tersebut bermaksud agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan atau kepastian hukum baginya.
Mengenai hubungan antara pabrikan dengan distributor dan atau trailer terdapat satu Pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur tentang distributor tersebut, yaitu Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menyatakan sebagai berikut:
Ayat (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila :
a) Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan atau jasa tersebut.
b) Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Ayat (2) Pelaku usaha sebagaimana pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan atau jasa tersebut”.
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tersebut tidak lain bermaksud agar konsumen tetap terlindungi, sehingga hubungan antara pelaku usahapun patut diatur. Hal tersebut penting artinya bagi konsumen seandainya dirugikan oleh pelaku usaha, karena Pasal ini memberikan kepastian hukum bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban memberikan ganti rugi kepada konsumen dan sebaliknya konsumen akan tetap dapat mengajukan tuntutan kepada pelaku usaha walaupun sesungguhnya yang telah melakukan perubahan pada barang yang diproduksi adalah pelaku usaha lain (misalnya distributor ataupun trailer).
2. Ketentuan Pencantuman Klasula Baku
Pasal 18 UUPK menyatakan :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/a tau perjanjian apabila;
a. men yatakan pen galihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. men yatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak men yerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. men yatakan bahwa pelaku usaha berkak menolak pen yerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. men yatakan pemberian kuasa dan konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. men gatur penihal pembuktian atas hilangnya kegunaan banang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang men jadi objek jual beli jasa;
g. men yatakan tuncluknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan barn, tam bahan, lanjutan dan/atau pen gtjbahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tan ggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) din yatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib men yesuaikan klausula baku yang bertentangan den gan undang-undang mi.
Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.”
Apabila kita mencermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huuf a), seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e UUPK. Pasal mi menentukan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderili konsumen, apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dan tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.
Menyangkut larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 huruf b, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Hal mi merupakan pasangan dan larangan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf c). Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Larangan dalam huruf d dan Pasal 18 ayat (1) sudah tepat. Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dan konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. Disamping itu dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f dan huruf h.
Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dan Pasal 18 ayat (1), tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal Iwrkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu,”mengatur perihal pembuktian atas hilanganya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya kegunaan barang atau jasa di dalarn suatu klausula baku.


Klausula Eksonerasi
Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.
Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dan suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.
Penerapan klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan pihak lemah, biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.
Menurut Mariam Darus Badruizaman, perjanjian bakl4 dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki ciri sebagai berikut:9
a. isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat daripada debitur;
b. debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu; c. terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima
c. perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Pendapat Mariam Darus Badruizaman di atas memposisikan kreditur selalu dalam posisi yang lebih kuat, padahal dalam kenyataan, kreditur tidak selamanya memiliki posisi yang lebih kuat daripada debitur, karena dalam kasus tertentu posisi debitur justru lebih kuat daripada kreditur, dan justru debiturlah yang merancang perjanjian baku. Dengan demikian pendapat di atas tidak selamanya dapat dibenarkan.
Berdasarkan alasan di atas, maka perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi cirinya, yaitu:’2
a. pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat;
b. pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dan perjanjian;
c. terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secaramassal atau individual.
Oleh karena perjanjian baku mi merupakan suatu bentuk perjanjian yang secara teoretis masih mengundang perdebatan, khususnya dalam kaitan dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian, maka di bawah mi juga akan dikemukakan berbagai pendapat tentang perjanjian baku.
Beberapa hal ayang perlu mendapat perhatian dalam perjanjaian baku, adalah pencantuman klausula eksonerasi harus :
a. Menonjol dan Jelas
Pengecualian terhadap tanggung gugat tidak dapat dibenarkan jika penulisannya tidak menonjol dan tidak jelas.
b. Disampaikan Tepat Waktu
Pengecualian tanggung gugat hanya efektif jika disampaikan dengan tepat waktu.
c. Pemenuhan Tujuan-tujuan Penting
Pembatasan tanggung gugat tidak dapat dilakukan jika pembatasan tersebut tidak akan memenuhi tujuan penting dari suatu jaminan.
d. Adil
Jika pengadilan menemukan kontrak atau klausal kontrak yang tidak adil, maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakannya, atau melaksanakannya tanpa klausal yang tidak adil.
Penyalahgunaan Keadaan
Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjaian antara konsumen dengan produsen ini kadang atau bahkan sering terjadi penyalahgunaan keadaan atau yang dalam istilah Belanda dikenal dengan nama “misbruik van omstidigheden”. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusu seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berfikir panjang, abnormal atau tidak bepengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

Selamat Datang Di ZONA TEKNIK.. ! Semoga Web ini Dapat Bermanfaat.. ZONA TEKNIK ..Bersama Memberikan Kemudahan.. Terima Kasih Atas Kunjungannya... Salam Sukses...